Pengetahuan tentang Suku Baduy
Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di Indonesia tepatnya di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Suku Baduy
merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia
luar. Kata "Baduy" merupakan kata yang diberikan oleh penduduk luar
kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari para peneliti Belanda yang
menyamakan mereka dengan kelompok ‘Arab Badawi’ yaitu masyarakat yang berpindah-pindah
(nomaden). Kemungkinan lain yang dianggap sebagai kata ‘Baduy’ karena adanya
Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut.
Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau
"orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang
mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
1.
Wilayah
Wilayah
Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan
108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki
pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.
Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 –
600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan
bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan
tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah
campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20 °C.
Tiga
desa utama orang Kanekes Dalam adalah Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.
2.
Bahasa
Bahasa
yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek
Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar
menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan
tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis,
sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya
tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
3.
Pendidikan
Orang
Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan
adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun
fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak
era Suharto pemerintah
telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun
fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha
pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca
atau menulis.
4.
Kelompok
masyarakat
Orang
Kanekes masih memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa
mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan
adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari
pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang
tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan
mayoritas memeluk Islam. Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu,
panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah
kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang
tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang
Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai
ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang
asing. Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan
orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang
teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
- Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
- Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
- Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
- Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
- Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
Kelompok
masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal
sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar),
yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes
Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain
sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat
kepala berwarna hitam.
Kanekes
Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah
Kanekes Dalam.
A. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
A. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
- Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
- Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
- Menikah dengan anggota Kanekes Luar
B. Ciri-ciri
masyarakat orang Kanekes Luar
- Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar. Mereka menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam.
- Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
- Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
- Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
- Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
Apabila
Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes
Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2
kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas
pengaruh dari luar (Permana, 2001).
5.
Kepercayaan
Kepercayaan
masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada
pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada
perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu, . Inti
kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat
mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi
terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep
"tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu
beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang
tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan
sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk
pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang,
sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak
membuat terasering, hanya
menanam dengan tugal, yaitu
sepotong bambu yang
diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa
adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang.
Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam
berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek
kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang
lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi
lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima,
yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya Pu'un atau
ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang
mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat
batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan
batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi
masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan
banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang
kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana,
2003a).
Bagi
sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang
dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan
masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
6.
Pemerintahan
Masyarakat
Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti
aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang
dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan
sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk
Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah,
yang ada di bawah camat, sedangkan
secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu
"Pu'un".
7. Struktur pemerintahan Kanekes
Pemimpin
adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di
tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun
tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka
waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan
seseorang memegang jabatan tersebut.
8.
Mata pencaharian
Sebagaimana
yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat
Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu
mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang
mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.